PANDANGAN
HIDUP MANUSIA SEBAGAI WARGA NEGARA
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Yang
menjadi masalah adalah dalam kualitas atau kedalaman interpretasi.
Horison yang diperluas oleh teori tentu juga berpengaruh terhadap
kedalaman manusia dalam mengintepretasi ideologinya, demikian juga
dalam kemampuan menangkap fakta-fakta, baik yang aktual maupun yang
merupakan fakta potensial. Tetapi yang menjadi pusat gravitasi dalam
interpretasi ideologi adalah keterlibatan. Intensitas pergulatan
dalam kerja-kerja ideologislah sebenarnya yang akan memberikan bobot
kedalaman tertinggi dalam interpretasi ideologi, bukan teori maupun
kemampuan menangkap fakta-fakta yang dihadapi. Di dalam keterlibatan
yang intens dengan kerja-kerja ideologis, intuisi juga akan
berkembang. Intuisi yang semakin berkembang ini tidaklah berlawanan
dengan bangunan teori dan kemampuan dalam menangkap fakta, tetapi
justru dengan berkembangnya intuisi ini, teori dan kemampuan
menangkap fakta menemukan energi yang tiada habisnya.
Daya
tahan ideologi pertama-tama sebenarnya terletak pada masalah
interpretasi ini, yaitu adalah bagaimana sebuah ideologi mampu
membuka diri terhadap sebuah (atau beberapa) interpretasi dan juga
bagaimana manusia-manusia mampu menghidupi sebuah ideologi melalui
interpretasi yang dilakukannya secara terus menerus.
Penyimpangan-penyimpangan ideologi juga pertama-tama terkait dengan
interpretasi ini. Di era Orde Baru, Pancasila telah menjadi ideologi
yang hak interpretasinya dimonopoli oleh penguasa, dan seperti yang
bisa kita catat bersama akhirnya Pancasila sebagai ideologi jatuh
sekedar sebagai bunyi-bunyian saja dan tragisnya, sekedar menjadi
alat legitimasi dan palu godam penguasa dalam menghadapi lawan-lawan
politiknya. Kedalaman interpretasi tidak terbangun melalui
keterlibatan dalam kerja-kerja ideologis, tetapi inginnya diraih
dalam ruang-ruang kelas lewat penguasaan modul-modul penataran. Dan
dapat kita lihat selanjutnya, tidak ada intuisi yang berkembang.
Tidak berkembangnya intuisi ini kemudian berakibat pula pada lemahnya
kemampuan dalam memperluas horison teoritis dan menangkap
fakta-fakta, karena keduanya seakan sudah dan selalu akan kekurangan
energi hidupnya. Hubungan manusia dan ideologi akhirnya jatuh
betul-betul seperti seekor kuda dan tali kekangnya. Dan karena
manusia bukanlah seekor kuda, pada titik tertentu dia akan meraih
tali kekang itu, merenggut dan kemudian membuangnya, dan saat itulah
sebuah ideologi sedang menggali kuburnya sendiri.
1.2
Permasalahan
- Apa yang di maksud ideologi?
- Macam-macam pandangan hidup sebagai warga Negara?
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ideologi
Ideologi
dan manusia-manusia yang menghidupinya
Menjengkelkan
memang, ketika untuk tahu siapa manusia kadang ada yang harus
meminjam dunia binatang, sehingga manusia kadang disebut sebagai
binatang yang rasional, binatang yang berdiri tegak atau juga
binatang ideologis. Yang jelas ketika manusia disebut sebagai
binatang ideologis, tentu yang dimaksud adalah tidak seperti layaknya
seekor kuda yang berjalan sesuai tarikan tali kekang (ideologi)nya.
Sebab tidak seperti hubungan antara kuda dan tali kekangnya, hubungan
manusia dengan ideologi itu (semestinya) selalu melibatkan
interpretasi, retorika dan etik.
Di
dalam interpretasi terhadap ideologi, manusia akan selalu melibatkan
hadirnya fakta-fakta kongkret yang dihadapinya. Selain fakta, dalam
menginterpretasikan ideologinya, manusia juga melibatkan berbagai
macam teori, bahkan untuk teori yang sangat sederhana seperti halnya
sebuah common sense. Artinya di sini adalah, interpretasi manusia
terhadap sebuah ideologi itu sifatnya relasional, demikian juga
sebenarnya ketika kita bicara interpretasi manusia atas fakta maupun
terhadap teori. Antara ideologi atau nilai-nilai, teori dan fakta
terdapat relasi atau hubungan yang erat.
Yang
menjadi masalah adalah dalam kualitas atau kedalaman interpretasi.
Horison yang diperluas oleh teori tentu juga berpengaruh terhadap
kedalaman manusia dalam mengintepretasi ideologinya, demikian juga
dalam kemampuan menangkap fakta-fakta, baik yang aktual maupun yang
merupakan fakta potensial. Tetapi yang menjadi pusat gravitasi dalam
interpretasi ideologi adalah keterlibatan. Intensitas pergulatan
dalam kerja-kerja ideologislah sebenarnya yang akan memberikan bobot
kedalaman tertinggi dalam interpretasi ideologi, bukan teori maupun
kemampuan menangkap fakta-fakta yang dihadapi. Di dalam keterlibatan
yang intens dengan kerja-kerja ideologis, intuisi juga akan
berkembang. Intuisi yang semakin berkembang ini tidaklah berlawanan
dengan bangunan teori dan kemampuan dalam menangkap fakta, tetapi
justru dengan berkembangnya intuisi ini, teori dan kemampuan
menangkap fakta menemukan energi yang tiada habisnya.
Daya
tahan ideologi pertama-tama sebenarnya terletak pada masalah
interpretasi ini, yaitu adalah bagaimana sebuah ideologi mampu
membuka diri terhadap sebuah (atau beberapa) interpretasi dan juga
bagaimana manusia-manusia mampu menghidupi sebuah ideologi melalui
interpretasi yang dilakukannya secara terus menerus.
Penyimpangan-penyimpangan ideologi juga pertama-tama terkait dengan
interpretasi ini. Di era Orde Baru, Pancasila telah menjadi ideologi
yang hak interpretasinya dimonopoli oleh penguasa, dan seperti yang
bisa kita catat bersama akhirnya Pancasila sebagai ideologi jatuh
sekedar sebagai bunyi-bunyian saja dan tragisnya, sekedar menjadi
alat legitimasi dan palu godam penguasa dalam menghadapi lawan-lawan
politiknya. Kedalaman interpretasi tidak terbangun melalui
keterlibatan dalam kerja-kerja ideologis, tetapi inginnya diraih
dalam ruang-ruang kelas lewat penguasaan modul-modul penataran. Dan
dapat kita lihat selanjutnya, tidak ada intuisi yang berkembang.
Tidak berkembangnya intuisi ini kemudian berakibat pula pada lemahnya
kemampuan dalam memperluas horison teoritis dan menangkap
fakta-fakta, karena keduanya seakan sudah dan selalu akan kekurangan
energi hidupnya. Hubungan manusia dan ideologi akhirnya jatuh
betul-betul seperti seekor kuda dan tali kekangnya. Dan karena
manusia bukanlah seekor kuda, pada titik tertentu dia akan meraih
tali kekang itu, merenggut dan kemudian membuangnya, dan saat itulah
sebuah ideologi sedang menggali kuburnya sendiri.
Kedalaman
interpretasi ideologi yang mensyaratkan keterlibatan ini jelas
memerlukan satu paradigma tertentu dalam memaknai soal waktu.
Keterlibatan pastilah melihat waktu dalam paradigma yang disebut oleh
Henri Bergson sebagai duree, waktu yang tidak terpotong-potong,
kontinyu dan yang betul-betul dialami. Perjalanan sejarah atau hidup
sebuah ideologi bukan lagi ditentukan oleh seseorang atau sekelompok
orang yang pertama-tama menghadirkan ideologi itu dalam sejarah
manusia, tetapi adalah oleh orang-orang yang secara terus menerus
menghidupinya, bahkan ketika itu terjadi dari generasi ke generasi,
dan ini sekali lagi, pertama-tama ini adalah masalah interpretasi
ideologi. Perhitungan matematika 2+2=4 tidak selalu harus dilacak
sejarah dan latar belakang pemikirannya ketika kita menghadapi
problema matematika sejenis, tetapi berbeda dengan, dalam hal ini,
masalah-masalah ideologi. Sejarah, masa lalu, latar belakang,
perkembangan ideologi selalu harus hadir dalam interpretasi kita
terhadap ideologi. Dari segi waktu, interpretasi ideologi selalu
melibatkan masa lalu, sekarang dan masa depan sebagai satu
kontinyuitas dengan segala kemungkinan yang selalu terbuka di kedua
belah pihak, baik di pihak ideologi maupun manusia yang menghidupi
dan menginterpretasikannya.
Retorika
di sini bukanlah seperti kemampuan bicara dari kaum Sophist yang suka
merangkai kata indah untuk semata mencapai kepentingan diri dan
karena itu justru sering mengesampingkan kebenaran yang ada. Retorika
di sini adalah erat terkait dengan kebenaran, kebenaran seperti yang
dimaknai oleh Martin Heidegger sebagai alethea, yang membuka
selubung-selubung penutup kebenaran. Maka keterkaitan ideologi dengan
retorika adalah bagaimana manusia-manusia yang menghidupi dan
mengintepretasi ideologi itu mampu ”membunyikan” ideologi untuk
membuka selubung-selubung yang menutupi kebenaran. Dengan retorika
justru ideologi diharapkan tidak menjadi selubung yang memanipulasi
kebenaran, yang menina-bobokkan pengikut-pengikutnya akan realitas
yang sebenarnya, tetapi justru yang membongkar selubung-selubung itu.
Ideologi
memang harus ”dibunyikan” sehingga dengan bunyi-bunyi itu manusia
semakin dapat mampu memahami apa yang dimaksudkan atau apa yang mau
dicapai oleh ideologi itu, sekaligus juga dalam hal ini –pada saat
yang sama, muncullah kesempatan terjadinya dialog. Karena dialog yang
sejati mensyaratkan kesungguhan maka ”bunyi” ideologi
semestinyalah tidak boleh jatuh pada sekedar ”bunyi-bunyi-an”,
berbunyi nyaring tanpa satu upayapun untuk merealisasikannya dalam
kehidupan nyata. Maka jelas di sini, hubungan retorika dan ideologi
adalah bagaimana ideologi mampu menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapkan oleh fakta-fakta aktual maupun fakta-fakta potensial. Dan
jawaban inilah yang ”dibunyikan” oleh manusia-manusia yang
menghidupi dan menginterpretasi ideologi.
Yang
ketiga adalah masalah etik, yaitu bagaimana retorika ideologi itu
dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang menghidupi ideologi itu.
Ideologi selalu mempunyai dimensi etis, yaitu menuntut untuk
dilaksanakannya dalam kehidupan kongkret. Tanpa upaya dilaksanakan
dalam kehidupan kongkret, maka jelas tidak ada keterlibatan di sini,
dan kembali seperti yang telah disampaikan di atas, tanpa
keterlibatan tidak akan pernah ada kedalaman dalam interpretasi
ideologi.
Jadi
hubungan antara ideologi dan manusia-manusia yang menghidupinya
selalu akan melibatkan interpretasi, retorika dan etik, atau meminjam
istilah yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno, selalu melibatkan
romantika, dinamika dan dialektikahttp
2.2
Pandangan Hidup Warga Negara
Keragaman
budaya bangsa Indonesia diungkapkan dengan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari
berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya
bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional,
keragaman budaya itu merupakan aset bangsa, oleh karena itu perbedaan
tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka
persatuan. Pancasila sering disebut sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia. Artinya nilai-nilai dari sila-sila Pancasila memang digali
dari khazanah kebudayaan bangsa. Dari itu maka setiap pandangan hidup
warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh
Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Dalam perjalanan bangsa, pandangan Komunismepun
pernah diakomodir dalam poros Nasakom. Hanya karena kesalahan PKI
yang menggunakan kekerasan dalam peristiwa G.30.S lah yang
menyebabkan faham komunis terlarang secara konstitusional di
Indonesia.
Data
sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life
tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk
dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar
karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena
itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam.
Berbicara
mengenai Islam sebagai pandangan hidup dapat terungkap jika kita
dapat memahami masalah HIDUP yang pada garis besarnya meliputi tiga
permasalahan, yaitu (a) pandangan hidup, (b) Pola Hidup, dan (c)
Etika hidup.
Pandangan
Hidup umat manusia sepanjang sejarahnya mencatat banyak ragam
pandangan hidup, baik yang dikenal sebagai filsafat maupun yang
dikenal sebagai ajaran leluhur, maupun yang dikenal sebagai
agama/ajaran Tuhan. Dalam Islam, pandangan hidup itu disebut aqidah
(suatu keyakinan yang mengikat batin manusia). Karena mengikat batin
maka aqidah menjadi pegangan hidup. Aqidah Islam memperkenalkan
kepada manusia tentang Tuhan, tentang alam raya dan tentang makhluk
manusia, di mana setiap individu termasuk di dalamnya.
Semua
manusia secara naluriah mengenal dirinya dan alam sekitarnya sampai
kepada alam raya. Secara naluriah manusia juga mengenal Tuhan
(sekalipun dalam berbagai macam persepsi) dan pengenalannya itu saat
menjadi keyakinan, memberikan pandangan hidup tertentu yang
dijadikannya pegangan hidup bagi dirinya. Pandangan hidup yang
diajarkan Islam menjelaskan kepada manusia bahwa ke-HIDUP-an itu
adalah sesuatu yang amat mulia dan amat berharga.
Hidup
yang dianugerahkan Allah kepada manusia merupakan modal dasar untuk
memenuhi fungsinya dan menentukan harkat dan martabatnya sendiri.
Oleh
karena itu pesan-pesan al Qur'an dan hadis Rasulullah sendiri
memberikan banyak peringatan kepada manusia supaya menggunakan modal
dasar tersebut secermat mungkin dan jangan sekali-kali
menyia-nyiakannya, karena ia sangat terbatas, baik waktunya maupun
ruangnya. Lebih jauh lagi dijelaskan tentang adanya dua jenis
ke-HIDUP-an, yaitu kehidupan manusia di bumi yang sangat terbatas
ruang dan waktunya, dan karena keterbatasannya itu ia tidak bersifat
kekal abadi, namun sifatnya nyata sehingga setiap orang mudah
mengenalnya dan merasakannya.
Pada
dasarnya kehidupan ini menyenangkan bagi manusia, karena bumi dan
alam sekitarnya sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh Allah untuk
mendukung kehidupan manusia. Ciri kesenangan inilah kemudian
mendominasi pandangan hidup kebanyakan orang sehingga menjadikan
"kesenangan" itu sebagai identifikasi dari kehidupan itu
sendiri. Pandangan yang demikian itu direkam dalam surah al Hadid; di
mana digambarkan bahwa yang dianggap kehidupan yang sesungguhnya
ialah; permainan, senda gurau, kemegahan, perlombaan memperkaya diri,
dan memperbanyak keturunan/pendukung (Q/57:20). Hal ini lebih
diperjelas dalam surat Ali `Imran dimana digambarkan bahwa manusia
menjadi tertarik mencintai segala yang menggiurkan, di antaranya;
wanita-wanita, putera-puteri, emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk,
kendaraan pilihan, ternak dan sawah ladang. Semua itu adalah
kenyataan-kenyataan yang sudah sangat dikenal oleh semua manusia, dan
sebagian mereka sempat merasakan nikmatnya.
Pada
dasarnya hal itu semua tidak pada tempatnya untuk dibenci atau
diremehkan, karena kesemuanya itu adalah sebahagiaan dari nikmat
Allah yang dipersiapkan untuk mendukung kehidupan manusia. Namun
pemanfaatannya harus sesuai dengan petunjuk penggunaannya, dan ini
terkait dengan pola hidup.
Selanjutnya
jenis kehidupan lain yang diperkenalkan Islam adalah kehidupan di
alam akhirat yang mutunya lebih tinggi, karena tidak terbatas dan
bersifat kekal abadi. Segala kenikmatan yang ada di dalam kehidupan
akhirat adalah lebih sempurna. Kedua jenis kehidupan tersebut itu
bukan berdiri sendiri-sendiri, tetapi yang kedua merupakan kelanjutan
dan penyempurnaan dari yang pertama. Alam akhirat merupakan tempat
dan saat perhitungan akhir, dan penentuan nilai tetap bagi setiap
manusia yang pernah menjalani kehidupan di alam dunia. Alam akhirat
bukan lagi tempat dan waktu bekerja dan berbuat, tetapi hanyalah
tempat dan saat menerima hasil akhir kerja dan perbuatan yang telah
dilakukan sebelumnya, yaitu selama kita hidup di bumi ini. Dengan
demikian, nyatalah bahwa kehidupan sebelumnya itu (yakni di dunia)
sangat penting artinya. Kesempatan bekerja dan berbuat hanyalah
didapatkan dalam kehidupan di alam dunia ini saja. Jadi
benar-benarlah bahwa kehidupan di alam dunia ini merupakan modal
dasar bagi manusia.
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Secara
konsepsional, keragaman budaya itu merupakan aset bangsa, oleh karena
itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam
kerangka persatuan. Pancasila sering disebut sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai dari sila-sila Pancasila memang
digali dari khazanah kebudayaan bangsa.
3.2
Saran
Demikian
lah makalah ini dibuat,semoga mendapatkan banyak pengetahuan dan
menambah wawasan bagi pembaca. Selanjutnya, penulis juga mengharapkan
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar
pusaka
://www.pergerakankebangsaan.org/?p=944
//doankfranky.blog.com/2011/04/20/manusia-dan-pandangan-hidup/
No comments:
Post a Comment