Sunday, June 16, 2013

pandangan hidup manusia sebagai warga negara

PANDANGAN HIDUP MANUSIA SEBAGAI WARGA NEGARA




BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yang menjadi masalah adalah dalam kualitas atau kedalaman interpretasi. Horison yang diperluas oleh teori tentu juga berpengaruh terhadap kedalaman manusia dalam mengintepretasi ideologinya, demikian juga dalam kemampuan menangkap fakta-fakta, baik yang aktual maupun yang merupakan fakta potensial. Tetapi yang menjadi pusat gravitasi dalam interpretasi ideologi adalah keterlibatan. Intensitas pergulatan dalam kerja-kerja ideologislah sebenarnya yang akan memberikan bobot kedalaman tertinggi dalam interpretasi ideologi, bukan teori maupun kemampuan menangkap fakta-fakta yang dihadapi. Di dalam keterlibatan yang intens dengan kerja-kerja ideologis, intuisi juga akan berkembang. Intuisi yang semakin berkembang ini tidaklah berlawanan dengan bangunan teori dan kemampuan dalam menangkap fakta, tetapi justru dengan berkembangnya intuisi ini, teori dan kemampuan menangkap fakta menemukan energi yang tiada habisnya.

Daya tahan ideologi pertama-tama sebenarnya terletak pada masalah interpretasi ini, yaitu adalah bagaimana sebuah ideologi mampu membuka diri terhadap sebuah (atau beberapa) interpretasi dan juga bagaimana manusia-manusia mampu menghidupi sebuah ideologi melalui interpretasi yang dilakukannya secara terus menerus. Penyimpangan-penyimpangan ideologi juga pertama-tama terkait dengan interpretasi ini. Di era Orde Baru, Pancasila telah menjadi ideologi yang hak interpretasinya dimonopoli oleh penguasa, dan seperti yang bisa kita catat bersama akhirnya Pancasila sebagai ideologi jatuh sekedar sebagai bunyi-bunyian saja dan tragisnya, sekedar menjadi alat legitimasi dan palu godam penguasa dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Kedalaman interpretasi tidak terbangun melalui keterlibatan dalam kerja-kerja ideologis, tetapi inginnya diraih dalam ruang-ruang kelas lewat penguasaan modul-modul penataran. Dan dapat kita lihat selanjutnya, tidak ada intuisi yang berkembang. Tidak berkembangnya intuisi ini kemudian berakibat pula pada lemahnya kemampuan dalam memperluas horison teoritis dan menangkap fakta-fakta, karena keduanya seakan sudah dan selalu akan kekurangan energi hidupnya. Hubungan manusia dan ideologi akhirnya jatuh betul-betul seperti seekor kuda dan tali kekangnya. Dan karena manusia bukanlah seekor kuda, pada titik tertentu dia akan meraih tali kekang itu, merenggut dan kemudian membuangnya, dan saat itulah sebuah ideologi sedang menggali kuburnya sendiri.
1.2 Permasalahan
  1. Apa yang di maksud ideologi?
  2. Macam-macam pandangan hidup sebagai warga Negara?

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ideologi
Ideologi dan manusia-manusia yang menghidupinya

Menjengkelkan memang, ketika untuk tahu siapa manusia kadang ada yang harus meminjam dunia binatang, sehingga manusia kadang disebut sebagai binatang yang rasional, binatang yang berdiri tegak atau juga binatang ideologis. Yang jelas ketika manusia disebut sebagai binatang ideologis, tentu yang dimaksud adalah tidak seperti layaknya seekor kuda yang berjalan sesuai tarikan tali kekang (ideologi)nya. Sebab tidak seperti hubungan antara kuda dan tali kekangnya, hubungan manusia dengan ideologi itu (semestinya) selalu melibatkan interpretasi, retorika dan etik.

Di dalam interpretasi terhadap ideologi, manusia akan selalu melibatkan hadirnya fakta-fakta kongkret yang dihadapinya. Selain fakta, dalam menginterpretasikan ideologinya, manusia juga melibatkan berbagai macam teori, bahkan untuk teori yang sangat sederhana seperti halnya sebuah common sense. Artinya di sini adalah, interpretasi manusia terhadap sebuah ideologi itu sifatnya relasional, demikian juga sebenarnya ketika kita bicara interpretasi manusia atas fakta maupun terhadap teori. Antara ideologi atau nilai-nilai, teori dan fakta terdapat relasi atau hubungan yang erat.

Yang menjadi masalah adalah dalam kualitas atau kedalaman interpretasi. Horison yang diperluas oleh teori tentu juga berpengaruh terhadap kedalaman manusia dalam mengintepretasi ideologinya, demikian juga dalam kemampuan menangkap fakta-fakta, baik yang aktual maupun yang merupakan fakta potensial. Tetapi yang menjadi pusat gravitasi dalam interpretasi ideologi adalah keterlibatan. Intensitas pergulatan dalam kerja-kerja ideologislah sebenarnya yang akan memberikan bobot kedalaman tertinggi dalam interpretasi ideologi, bukan teori maupun kemampuan menangkap fakta-fakta yang dihadapi. Di dalam keterlibatan yang intens dengan kerja-kerja ideologis, intuisi juga akan berkembang. Intuisi yang semakin berkembang ini tidaklah berlawanan dengan bangunan teori dan kemampuan dalam menangkap fakta, tetapi justru dengan berkembangnya intuisi ini, teori dan kemampuan menangkap fakta menemukan energi yang tiada habisnya.

Daya tahan ideologi pertama-tama sebenarnya terletak pada masalah interpretasi ini, yaitu adalah bagaimana sebuah ideologi mampu membuka diri terhadap sebuah (atau beberapa) interpretasi dan juga bagaimana manusia-manusia mampu menghidupi sebuah ideologi melalui interpretasi yang dilakukannya secara terus menerus. Penyimpangan-penyimpangan ideologi juga pertama-tama terkait dengan interpretasi ini. Di era Orde Baru, Pancasila telah menjadi ideologi yang hak interpretasinya dimonopoli oleh penguasa, dan seperti yang bisa kita catat bersama akhirnya Pancasila sebagai ideologi jatuh sekedar sebagai bunyi-bunyian saja dan tragisnya, sekedar menjadi alat legitimasi dan palu godam penguasa dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Kedalaman interpretasi tidak terbangun melalui keterlibatan dalam kerja-kerja ideologis, tetapi inginnya diraih dalam ruang-ruang kelas lewat penguasaan modul-modul penataran. Dan dapat kita lihat selanjutnya, tidak ada intuisi yang berkembang. Tidak berkembangnya intuisi ini kemudian berakibat pula pada lemahnya kemampuan dalam memperluas horison teoritis dan menangkap fakta-fakta, karena keduanya seakan sudah dan selalu akan kekurangan energi hidupnya. Hubungan manusia dan ideologi akhirnya jatuh betul-betul seperti seekor kuda dan tali kekangnya. Dan karena manusia bukanlah seekor kuda, pada titik tertentu dia akan meraih tali kekang itu, merenggut dan kemudian membuangnya, dan saat itulah sebuah ideologi sedang menggali kuburnya sendiri.

Kedalaman interpretasi ideologi yang mensyaratkan keterlibatan ini jelas memerlukan satu paradigma tertentu dalam memaknai soal waktu. Keterlibatan pastilah melihat waktu dalam paradigma yang disebut oleh Henri Bergson sebagai duree, waktu yang tidak terpotong-potong, kontinyu dan yang betul-betul dialami. Perjalanan sejarah atau hidup sebuah ideologi bukan lagi ditentukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang pertama-tama menghadirkan ideologi itu dalam sejarah manusia, tetapi adalah oleh orang-orang yang secara terus menerus menghidupinya, bahkan ketika itu terjadi dari generasi ke generasi, dan ini sekali lagi, pertama-tama ini adalah masalah interpretasi ideologi. Perhitungan matematika 2+2=4 tidak selalu harus dilacak sejarah dan latar belakang pemikirannya ketika kita menghadapi problema matematika sejenis, tetapi berbeda dengan, dalam hal ini, masalah-masalah ideologi. Sejarah, masa lalu, latar belakang, perkembangan ideologi selalu harus hadir dalam interpretasi kita terhadap ideologi. Dari segi waktu, interpretasi ideologi selalu melibatkan masa lalu, sekarang dan masa depan sebagai satu kontinyuitas dengan segala kemungkinan yang selalu terbuka di kedua belah pihak, baik di pihak ideologi maupun manusia yang menghidupi dan menginterpretasikannya.

Retorika di sini bukanlah seperti kemampuan bicara dari kaum Sophist yang suka merangkai kata indah untuk semata mencapai kepentingan diri dan karena itu justru sering mengesampingkan kebenaran yang ada. Retorika di sini adalah erat terkait dengan kebenaran, kebenaran seperti yang dimaknai oleh Martin Heidegger sebagai alethea, yang membuka selubung-selubung penutup kebenaran. Maka keterkaitan ideologi dengan retorika adalah bagaimana manusia-manusia yang menghidupi dan mengintepretasi ideologi itu mampu ”membunyikan” ideologi untuk membuka selubung-selubung yang menutupi kebenaran. Dengan retorika justru ideologi diharapkan tidak menjadi selubung yang memanipulasi kebenaran, yang menina-bobokkan pengikut-pengikutnya akan realitas yang sebenarnya, tetapi justru yang membongkar selubung-selubung itu.

Ideologi memang harus ”dibunyikan” sehingga dengan bunyi-bunyi itu manusia semakin dapat mampu memahami apa yang dimaksudkan atau apa yang mau dicapai oleh ideologi itu, sekaligus juga dalam hal ini –pada saat yang sama, muncullah kesempatan terjadinya dialog. Karena dialog yang sejati mensyaratkan kesungguhan maka ”bunyi” ideologi semestinyalah tidak boleh jatuh pada sekedar ”bunyi-bunyi-an”, berbunyi nyaring tanpa satu upayapun untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Maka jelas di sini, hubungan retorika dan ideologi adalah bagaimana ideologi mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapkan oleh fakta-fakta aktual maupun fakta-fakta potensial. Dan jawaban inilah yang ”dibunyikan” oleh manusia-manusia yang menghidupi dan menginterpretasi ideologi.

Yang ketiga adalah masalah etik, yaitu bagaimana retorika ideologi itu dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang menghidupi ideologi itu. Ideologi selalu mempunyai dimensi etis, yaitu menuntut untuk dilaksanakannya dalam kehidupan kongkret. Tanpa upaya dilaksanakan dalam kehidupan kongkret, maka jelas tidak ada keterlibatan di sini, dan kembali seperti yang telah disampaikan di atas, tanpa keterlibatan tidak akan pernah ada kedalaman dalam interpretasi ideologi.

Jadi hubungan antara ideologi dan manusia-manusia yang menghidupinya selalu akan melibatkan interpretasi, retorika dan etik, atau meminjam istilah yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno, selalu melibatkan romantika, dinamika dan dialektikahttp
2.2 Pandangan Hidup Warga Negara
Keragaman budaya bangsa Indonesia diungkapkan dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan aset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Pancasila sering disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai dari sila-sila Pancasila memang digali dari khazanah kebudayaan bangsa. Dari itu maka setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Dalam perjalanan bangsa, pandangan Komunismepun pernah diakomodir dalam poros Nasakom. Hanya karena kesalahan PKI yang menggunakan kekerasan dalam peristiwa G.30.S lah yang menyebabkan faham komunis terlarang secara konstitusional di Indonesia.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam.
Berbicara mengenai Islam sebagai pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah HIDUP yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu (a) pandangan hidup, (b) Pola Hidup, dan (c) Etika hidup.
Pandangan Hidup umat manusia sepanjang sejarahnya mencatat banyak ragam pandangan hidup, baik yang dikenal sebagai filsafat maupun yang dikenal sebagai ajaran leluhur, maupun yang dikenal sebagai agama/ajaran Tuhan. Dalam Islam, pandangan hidup itu disebut aqidah (suatu keyakinan yang mengikat batin manusia). Karena mengikat batin maka aqidah menjadi pegangan hidup. Aqidah Islam memperkenalkan kepada manusia tentang Tuhan, tentang alam raya dan tentang makhluk manusia, di mana setiap individu termasuk di dalamnya.
Semua manusia secara naluriah mengenal dirinya dan alam sekitarnya sampai kepada alam raya. Secara naluriah manusia juga mengenal Tuhan (sekalipun dalam berbagai macam persepsi) dan pengenalannya itu saat menjadi keyakinan, memberikan pandangan hidup tertentu yang dijadikannya pegangan hidup bagi dirinya. Pandangan hidup yang diajarkan Islam menjelaskan kepada manusia bahwa ke-HIDUP-an itu adalah sesuatu yang amat mulia dan amat berharga.
Hidup yang dianugerahkan Allah kepada manusia merupakan modal dasar untuk memenuhi fungsinya dan menentukan harkat dan martabatnya sendiri.
Oleh karena itu pesan-pesan al Qur'an dan hadis Rasulullah sendiri memberikan banyak peringatan kepada manusia supaya menggunakan modal dasar tersebut secermat mungkin dan jangan sekali-kali menyia-nyiakannya, karena ia sangat terbatas, baik waktunya maupun ruangnya. Lebih jauh lagi dijelaskan tentang adanya dua jenis ke-HIDUP-an, yaitu kehidupan manusia di bumi yang sangat terbatas ruang dan waktunya, dan karena keterbatasannya itu ia tidak bersifat kekal abadi, namun sifatnya nyata sehingga setiap orang mudah mengenalnya dan merasakannya.
Pada dasarnya kehidupan ini menyenangkan bagi manusia, karena bumi dan alam sekitarnya sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh Allah untuk mendukung kehidupan manusia. Ciri kesenangan inilah kemudian mendominasi pandangan hidup kebanyakan orang sehingga menjadikan "kesenangan" itu sebagai identifikasi dari kehidupan itu sendiri. Pandangan yang demikian itu direkam dalam surah al Hadid; di mana digambarkan bahwa yang dianggap kehidupan yang sesungguhnya ialah; permainan, senda gurau, kemegahan, perlombaan memperkaya diri, dan memperbanyak keturunan/pendukung (Q/57:20). Hal ini lebih diperjelas dalam surat Ali `Imran dimana digambarkan bahwa manusia menjadi tertarik mencintai segala yang menggiurkan, di antaranya; wanita-wanita, putera-puteri, emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kendaraan pilihan, ternak dan sawah ladang. Semua itu adalah kenyataan-kenyataan yang sudah sangat dikenal oleh semua manusia, dan sebagian mereka sempat merasakan nikmatnya.
Pada dasarnya hal itu semua tidak pada tempatnya untuk dibenci atau diremehkan, karena kesemuanya itu adalah sebahagiaan dari nikmat Allah yang dipersiapkan untuk mendukung kehidupan manusia. Namun pemanfaatannya harus sesuai dengan petunjuk penggunaannya, dan ini terkait dengan pola hidup.
Selanjutnya jenis kehidupan lain yang diperkenalkan Islam adalah kehidupan di alam akhirat yang mutunya lebih tinggi, karena tidak terbatas dan bersifat kekal abadi. Segala kenikmatan yang ada di dalam kehidupan akhirat adalah lebih sempurna. Kedua jenis kehidupan tersebut itu bukan berdiri sendiri-sendiri, tetapi yang kedua merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari yang pertama. Alam akhirat merupakan tempat dan saat perhitungan akhir, dan penentuan nilai tetap bagi setiap manusia yang pernah menjalani kehidupan di alam dunia. Alam akhirat bukan lagi tempat dan waktu bekerja dan berbuat, tetapi hanyalah tempat dan saat menerima hasil akhir kerja dan perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu selama kita hidup di bumi ini. Dengan demikian, nyatalah bahwa kehidupan sebelumnya itu (yakni di dunia) sangat penting artinya. Kesempatan bekerja dan berbuat hanyalah didapatkan dalam kehidupan di alam dunia ini saja. Jadi benar-benarlah bahwa kehidupan di alam dunia ini merupakan modal dasar bagi manusia.









BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan aset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Pancasila sering disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai dari sila-sila Pancasila memang digali dari khazanah kebudayaan bangsa.
3.2 Saran
Demikian lah makalah ini dibuat,semoga mendapatkan banyak pengetahuan dan menambah wawasan bagi pembaca. Selanjutnya, penulis juga mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

Daftar pusaka

://www.pergerakankebangsaan.org/?p=944
//doankfranky.blog.com/2011/04/20/manusia-dan-pandangan-hidup/

No comments:

Post a Comment